Adakah wisata bahari di lautan Nusantara?
Boleh jadi moda transportasi berlibur klasik untuk keluarga Indonesia yang terkenal adalah naik delman atau naik kereta api. Kepopuleran keduanya terabadikan dalam lagu kanak-kanak. Bagaimana dengan kapal laut?
Sudah lama tidak terdengar adanya kapal pesiar milik negeri sendiri yang mengarungi lautan Nusantara, semenjak kapal pesiar Awani Dream, cruise ship ukuran sedang yang dioperasikan di Indonesia pada era Orde Baru tidak lagi beroperasi. Padahal sejak masih bernama Hindia Belanda, perairan Indonesia merupakan perairan kapal pesiar. Kapal-kapal mewah dengan bendera negara-negara Skandinavia, Inggris, Amerika, bahkan Federasi Rusia dan negara-negara lain sudah sejak awal masa kemerdekaan dari waktu ke waktu mampir ke Indonesia. Itu semua dapat kita baca dalam catatan berkala wisata dari zaman Hindia Belanda yang ada di Perpustakaan Nasional.
Namun kehadiran mereka sekarang ini makin jarang. Ini mungkin disebabkan minimnya kemampuan pelabuhan-pelabuhan kita memberikan fasilitas pelayanan untuk kapal-kapal tersebut dan kepada para penumpangnya yang turun ke daratan. Saking lalainya kita terhadap perairan Nusantara sehingga sempat diusulkan oleh Singapura supaya perairan Nusantara diberi nama Aseanaria. Padahal perairan ini notabene adalah milik sah bangsa kita. Singapura seakan-akan menginginkan perairan Indonesia atau Nusantara itu dilupakan saja, toh, bangsa pemiliknya pun tak peduli untuk memanfaatkannya secara optimal.
Buktinya, lebih banyak kapal barang milik asing yang beroperasi di perairan kita. Dan hingga sekarang kita cuma meninabobokan diri karena kita memiliki jenis kapal tradisional Phinisi. Kapal-kapal pencari ikan yang lalu lalang di perairan kita pun tidak mampu menandingi jumlah dan kualitas serta kecanggihan kapal-kapal asing yang menjarah jutaan ton ikan kita tiap tahunnya. Kita biarkan kapal-kapal asing menguras ikan kita, dalam nilai produksi miliaran dolar tiap tahunnya. Kita hanya bisa hitung kerugian, sebab kita sendiri tidak mampu memanfaatkannya secara optimal.
Sudah sejak sekian tahun lalu sebagian dari kapal-kapal pesiar (cruise ships) ukuran sedang yang semula beroperasi di sekitar Laut Tengah dan Karibia, dioperasikan di Asia Timur, dengan pelabuhan-pelabuhan singgah utamanya antara lain Kuala Lumpur, Singapura dan Hongkong. Mereka meninggalkan Laut Tengah dan Karibia karena makin jenuhnya kedua perairan tersebut baik yang disebabkan pencemaran maupun menipisnya minat turis untuk bercengkerama di sana. Dan sudah sejak sekian tahun pula pelabuhan-pelabuhan Kuala Lumpur, Singapura dan Hongkong melengkapi diri dengan fasilitas-fasilitas khusus untuk kapal pesiar, termasuk untuk para penumpangnya. Dan para pembeli dan penyewa kapal pesiar dari Laut Tengah dan Karibia itu sesungguhnya menunggu-nunggu kapan mereka bisa beroperasi di sekitar Nusantara untuk menyinggahkan turis mereka di daerah-daerah tujuan wisata kita seperti Bali, Toraja, Jawa dan Sumatra, misalnya.
Walaupun Priok sudah memiliki pelabuhan khusus untuk kapal pesiar, dan hingga kini secara kontinu disinggahi kapal-kapal pesiar dari hampir semua penjuru dunia, tidak demikian halnya dengan Medan, Surabaya, atau Makassar. Apalagi pelabuhan-pelabuhan lain yang lebih kecil. Padahal sudah sejak sekitar 30 tahun lalu, pada permulaan tahun 1970-an kapal pesiar Prinsendam milik Holland America Line melayani perairan Indonesia secara reguler dengan pelabuhan-pelabuhan singgah Tanjung Priok, Medan, Padangbai (Bali) dan lain-lain. Di Medan para penumpang diberi kesempatan berwisata ke Danau Toba, di Semarang para turis singgah untuk melihat Yogyakarta dan Candi Borobudur. Namun semenjak terbakarnya Prinsendam di perairan antara Indonesia dan Filipina, Holland America Line tidak pernah melayani perairan Nusantara secara teratur lagi.
Sesungguhnya Indonesia mampu membuat kapal-kapal modern dan nyaman seperti kapal pesiar. Beberapa negara Skandinavia sekian tahun lalu pernah memesan beberapa kapal feri yang sekelas dengan kapal pesiar kepada salah sebuah pabrik kapal di Indonesia. Mengapa kemampuan ini tidak digunakan untuk membangun armada kapal pesiar yang memiliki potensi ekonomi besar di perairan Nusantara? Dunia menilai perairan kita ideal untuk diarungi kapal-kapal pesiar semenjak lama. Kenapa kita nyaris tak peduli?
Sumber:
Winarta Adisubrata, "Kapan Perairan Indonesia Jadi Ajang Wisata Kapal Pesiar Lagi?", Harian Sinar Harapan, 3 Maret 2002.