Mittwoch, Mai 17, 2006

Sastra Kelautan

Dari sedikit buku sastra yang pernah saya baca, mungkin sebagian karya-karya Pramoedya Ananta Toer lah yang mampu menggugah rasa kebaharian di dalam diri saya. Pram memang sedikit (atau satu-satunya?) dari sastrawan Indonesia yang konsisten mengisi roh kebaharian ke dalam karya-karyanya. Ada satu karya fenomenal Pram yang mengagumkan, yaitu “Arus Balik” (1995). Novel setebal 724 halaman ini adalah fiksi sejarah dengan latar belakang runtuhnya kerajaan-kerajaan Hindu dan munculnya kerajaan-kerajaan Islam nusantara, pada paruh abad ke-15 dan -16. Mungkin bila bisa diwajibkan novel tersebut menjadi bacaan wajib para anak sekolah menengah, saya yakin cinta dan kebanggaan bahari mereka akan terbangkitkan. Bahkan menurut rumor, konon novel tersebut memberikan inspirasi kepada Presiden Gus Dur untuk membentuk Departemen Kelautan di dalam republik maritim yang telah berusia setengah abad lebih ini.

Berikut cuplikan dari “Arus Balik”:

Sekarang makin lama makin sedikit kapal-kapal Jawa berlayar ke utara, ke Atas Angin, ke Campa ataupun ke Tiongkok. Arus kapal dari selatan semakin tipis. Sebaliknya arus dari utara semakin deras, membawa barang-barang baru, pikiran-pikiran baru, agama baru. Juga ke Tuban. ....

Dahulu, di jaman kejayaan Majapahit, arus bergerak dari selatan ke utara, dari Nusantara ke Atas Angin. Majapahit adalah kerajaan laut terbesar di antara bangsa-bangsa beradab di muka bumi ini. Kapal-kapalnya, muatannya, manusianya, amal dan perbuatannya, cita-citanya – semua itulah arus selatan ke utara. Segala-galanya datang dari selatan. Majapahit jatuh. Sekarang orang tidak mampu lagi membuat kapal besar. Kapal kita makin lama makin kecil seperti kerajaannya. Karena, ya, kapal besar hanya dibikin oleh kerajaan besar. Kapal kecil dan kerajaan kecil menyebabkan arus tidak bergerak ke utara, sebaliknya, dari utara sekarang keselatan, karena Atas Angin lebih unggul, membawa segala-galanya ke Jawa, termasuk penghancuran, penindasan, dan penipuan. Makin lama kapal-kapal kita akan semakin kecil untuk kemudian tidak mempunyai sama sekali. .....

Tidak mungkin – asal kalian menguasai jalan laut lagi. Selama mereka yang menguasai, mereka takkan menenggang kapal kita, akan menghancurkannya sama sekali. Sampai kita dibikin tidak beranjak dari dusun kita sendiri di pesisir dan gunung.


Karya Pram lainnya yang memuat sinisme terhadap kondisi maritim kita adalah “Nyanyi Sunyi Seorang Bisu” (1995). Memoir yang bercerita tentang pengalaman kelabunya saat menjadi Tapol di Pulau Buru, dibuka dengan cerita pemindahan para Tapol dari Nusakambangan ke Pulau Buru dengan menggunakan Kapal Perang ALRI Adri XV, sebuah kapal rongsokan yang sangat kotor namun tetap mampu beroperasi. Seringkali dalam perjalanan, mesin kapal tersebut mati dan terombang-ambil di lautan selama berjam-jam. Kecepatan maksimum kapal digambarkan sama dengan kecepatan orang bersepeda santai. “Bagaimana pun juga, kapal ini adalah milik negara kepulauan terbesar di dunia!”. Melihat kondisi kapal yang demikian, Pram mempertanyakan, “apakah kita betul-betul keturunan bangsa pelaut?”. “Ribuan tahun yang lalu, nenek moyang kita telah melalui perairan ini – guru-guru kita tidak berbohong, bukan? – dengan perahu yang mereka buat dengan tangan mereka sendiri, yang pasti jauh lebih bersih daripada Adri XV. Tidak, guru-guru kita tidak berbohong. Pelaut-pelaut Bugis, Makassar dan Madura terkenal karena perahu layar mereka. Bahkan hingga hari ini kapal-kapal mereka masih jauh lebih baik daripada yang ini (Adri XV – red) yang dibeli oleh negara.

Pram yang mencintai laut, meskipun kelahiran Blora, yang terletak di pedalaman Jawa Tengah, memang berasal dari keturunan masyarakat pesisir di daerah Rembang, Jawa Tengah. Dalam novel “Gadis Pantai” (1991), Pram menceritakan tentang sejarah hidup neneknya yang tercabut dari kehidupan masyarakat pesisir akibat feodalisme dan kemiskinan, dan berpindah ke daerah pedalaman di Blora.

Selain beberapa karya Pram, saya juga pernah membaca satu novel maritim lainnya karya YB. Mangunwijaya yang berjudul “Ikan-ikan hiu, Ido dan Homa” (1983). Novel etnik yang romantik ini juga berbumbu sejarah peperangan melawan penjajah di perairan Maluku. Di dalamnya digambarkan bagaimana sikap masyarakat bahari nusantara dalam menghadapi kapal-kapal asing yang memiliki teknologi perang lebih canggih dari kapal-kapal yang mereka miliki. Rentannya pertahanan saat itu bukan karena kekalahan teknologi, melainkan lebih disebabkan oleh kondisi politik yang labil antara para raja-raja di perairan Maluku, sehingga para penjajah Eropa hanya tinggal berbagi-bagi kapling saja, memilih mendukung kerajaan yang mana dan saling mengadu-domba.

Menggemari karya sastra sangat penting bagi proses belajar. Dramawan Asrul Sani (1992) mempertanyakan: “Bagaimana mungkin intelektual bisa memahami hakikat manusia kalau mereka tak membaca sastra?” Menggemari sastra bukan berarti menjadi sastrawan. Penyair Taufiq Ismail (2005) memandang sastra diperlukan untuk mengasah dan menumbuhkan minat baca buku secara umum. Beliau memberikan ilustrasi menarik tentang Dwitunggal Soekarno-Hatta sebagai berikut:
Seorang Anak Baru Gede di tahun 1919 masuk sekolah SMA dagang menengah Prins Hendrik School di Batavia. Wajib baca buku sastra menyebabkannya ketagihan membaca, tapi dia lebih suka ekonomi. Dia melangkah ke samping, lalu jadi ekonom dan ahli koperasi. Namanya Hatta. Seorang siswa yang sepantaran dia, di AMS Surabaya, juga adiksi buku. Kasur, kursi dan lantai kamarnya ditebari buku. Tapi dia lebih suka iImu politik, sosial dan nasionalisme. Dia melangkah ke samping dan jadi politikus. Namanya Soekarno.