Donnerstag, Juni 08, 2006

Lallai Baka Ellau dari Pagerungan

Semenjak 1910

Sekilas Pulau Pagerungan Kecil tidak memperlihatkan keistimewaan di antara beberapa pulau yang ada di sekitarnya. Deretan pohon kelapa yang diselingi pohon-pohon pisang tampak mendominasi jenis tanaman di pulau, yang memiliki jumlah penduduk 4.469 jiwa tersebut.

Berada di antara gugusan Kepulauan Kangean, pulau ini pun tidak termasuk dalam daftar tujuan wisata sebagaimana Pulau Madura yang berada di bagian barat, maupun Pulau Bali yang berjarak 60 mil di bagian selatan. Meski secara administratif pulau ini masuk Kabupaten Sumenep, Provinsi Jawa Timur, namun secara geografis keberadaan Pulau Pagerungan Kecil lebih dekat ke Pulau Bali.

Namun dari kebersahajaan pulau yang baru dikenal dan dihuni penduduk sejak awal 1910 tersebut, kini telah terukir sebuah momen sejarah baru kemaritiman Indonesia. Di pulau inilah sebuah replika kapal tradisional yang digunakan nenek moyang bangsa Indonesia untuk berlayar sampai ke Afrika Selatan beberapa abad lalu dibuat oleh penduduk setempat.


Lallai Baka Ellau

Adalah As'ad Abdullah, seorang pembuat kapal tradisional warga Pagerungan Kecil, yang telah mengangkat nama Pulau Pagerungan di media nasional dan internasional. Nick Burmingham yang telah mengunjungi sejumlah ahli pembuat kapal tradisional di seluruh Indonesia, yakin bahwa As’ad mampu melaksanakan pembuatan replika kapal bernilai sejarah tersebut.

Sementara dari sisi rancang bangun, As'ad – kini berusia 72 tahun – menjelaskan bahwa kapal Borobudur tersebut mengambil desain dari corak perahu Soppe yang digunakan oleh suku Bajo sekitar abad ke-8. Bahkan untuk nama kapal itu pun digunakan bahasa Bajo yaitu Lallai Baka Ellau, yang berarti “berlari bersama Matahari”. Kelak kemudian hari ketika peresmian pelayaran ekspedisi Borobudur, Presiden Megawati memberi nama Samudraraksa kepada kapal karya As’ad dan kawan-kawan tersebut, menggantikan nama indah Lallai Baka Ellau.

Menurut Nick, nama Lallai Baka Ellau itu dipilih karena misi ekspedisi yang dijalankan adalah menuju arah barat, membuat kapal tersebut seolah-olah tengah mengejar Matahari atau Ellau. Sebagai catatan, salah satu bukti telah terjadi hubungan dagang antara Madagaskar dan Nusantara di masa lalu adalah adanya kesamaan sejumlah nama benda di antara kedua bangsa, termasuk Ellau sendiri yang juga berarti Matahari dalam bahasa Madagaskar.


Pulau Sapeken, sebuah metropulau


Ibukota Kecamatan Sapeken adalah Pulau Sapeken. Kecamatan tersebut terdiri dari 33 pulau kecil dan 9 desa. Sebanyak 5 pulau yang tidak terhuni warga. Pulau Sapeken luasnya hanya sekitar 3,5 km persegi dengan jumlah penduduk 11.343 KK. Saking padatnya penduduk Pulau Sapeken, pendatang menyebutnya sebagai pulau metropolis. Nyaris tidak lahan kosong, semuanya dipadati rumah penduduk, layaknya kota metropolitan. Selebihnya hanya ada lapangan olahraga dan ditambah satu hektare tanaman kelapa. Kendati pulau kecil, Pulau Sapeken mempunyai tiga masjid. Kehidupan keagamaan masyarakat Sapeken tergolong dinamis, ada beberapa aliran dan organisasi masyarakat Islam seperti NU, Persis, Muhammadiyah dan lainnya. Umat non muslim hanya 0,5 persen saja, kerukunan antar umat beragama tergolong sangat baik.

Meski termasuk ke dalam wilayah pemerintahan Kabupaten Sumenep, namun masyarakat di sana tidak ada yang menggunakan bahasa Madura. Ada beberapa bahasa yang digunakan masyarakat dalam sehari-hari. Pertama, Bahasa Indonesia, Bahasa Bajo, Bugis, Makassar dan Mandu (semuanya Sulawesi). Hanya sejumlah orang saja yang bisa bahasa Madura ala Sumenep. Penduduk Sapeken dari sejarahnya memang pendatang dari daerah Makassar. Ketika itu, orang kampung Bajo Sulawesi Selatan berlayar mencari ikan dan menetap di kepulauan Sapeken.

Penghasilan utama penduduk Sapeken adalah mencari ikan dilaut. Sayangnya sistem penjualan hasil tangkapan masih tradisional. Minimnya perhatian pemerintah memaksa sebagian penduduknya untuk merantau jauh ke luar negeri. Sepintas taraf ekonomi masyarakat kepulauan Sapeken boleh jadi melebihi kesejahteraan ekonomi masyarakat daratan Sumenep. Kendati masyarakat hidup di pulau-pulau kecil dan jauh dari keramaian, kebutuhan ekonomi masyarakat selalu tercukupi. Ini berbeda, dengan kondisi masyarakat daratan yang selalu mengharap bantuan-bantuan dari pemerintah, serupa Jaring Pengamanan Sosial (JPS).

Masyarakat kepulauan tidak begitu suka akan bantuan-bantuan yang bersifat memanjakan masyarakat dan tidak mengajak masyarakat untuk kreatif menggali potensi ekonomi kepulauan. Apalagi, bantuan semacam itu bertolak belakang dengan kinerja nelayan yang dikenal pantang menyerah sebelum sukses. Seperti usaha pelaut atau nelayan yang sebelum berhasil menangkap ikan tidak mau pulang ke darat. "Di kepulauan banyak potensi. Kenapa masyarakat tidak dibekali keterampilan untuk dibina, seperti budi daya ikan kerapu," ujar salah seorang penduduk.

Kesehatan dan pendidikan merupakan masalah serius di masyarakat kepulauan. Alat transportasi tenaga medis dan tenaga pendidik sangatlah minim dan hanya mengandalkan perahu saja. Guru-guru dari kabupaten biasanya hanya datang sebentar untuk menengok kondisi sekolah, namun tidak pernah betah berlama-lama tinggal di sana.

Transportasi tampaknya menjadi kendala utama bagi pengembangan potensi wisata di pulau yang penduduknya menggunakan bahasa suku Bajo tersebut, termasuk bagi 29 pulau lainnya yang berada di Kecamatan Sapeken. Perjalanan laut Sapekan-Makassar bila melalui perahu mesin mencapai 24 jam, Sapaken-Bali 10 jam, Sapeken-Banyuwangi memakan waktu 12 jam. Sementara ke Sumenep warga Sapeken harus ke Pulau Kangean sekitar 5 jam. Ditambah dari Kangean ke Kalianget naik kapal ferry Kartika sekitar 8 jam.

Gugus Kepulauan Kangean dikaruniai kandungan minyak-bumi di bawah tanahnya. Saat ini ada sebuah perusahaan pertambangan gas dan minyak bumi nasional tengah beroperasi di sana, sebuah potensi yang semakin membangkitkan keinginan penduduk setempat untuk menjadi sebuah daerah otonom. Sebuah kasus yang sekarang lazim terjadi di berbagai tempat di pelosok tanah air akibat kurangnya perhatian pemerintah melalui pembangunan berwawasan maritim dan kesadaran untuk menentukan nasib sendiri yang semakin bergejolak.


Sumber:

[1] Dari Catatan Perjalanan Kepulauan Sumenep. Harian Jawa Pos, 2 Desember 2000.
[2] Mengungkap Kedigdayaan Maritim dari Pangerukan. Harian Bisnis Indonesia, 21 Juni 2003.

1 Comments:

At 9:01 PM, Anonymous Anonym said...

memang kehidupan penduduk di pulau sapeken dan sekitarnya memang sederhana, boleh dikatakan mereka tidak pernah meminta bantuan pada pemerintah, tapi bila ada bantuan mereka juga tidak menampiknya.
terima kasih sudah membuat artikel tentang pulau saya, saya sendiri berasal dari Sapeken, kelahiran Pagerungan Kecil.
Salam kenal

 

Kommentar veröffentlichen

<< Home