Sonntag, Mai 21, 2006

Sejuta Cerita Samudraraksa 2

Mimpi terwujud di Pulau Kangean

Philip dan Nick kemudian memilih As’ad Abdullah untuk mewujudkan sketsa teknis kapal Borobudur. As’ad adalah seorang nelayan tangguh dari Desa Pagerungan, Sapeken, Sumenep, Jawa Timur, dikenal sebagai jagoan pembuat kapal dan telah menyelesaikan 40 perahu layar dan 16 kapal selama 30 tahun.

Dalam proses pengerjaannya, mereka mencontoh apa yang dilakukan nenek moyang dahulu. Seluruh bagian kapal Borobudur terbuat dari kayu. Sedikitnya tujuh jenis kayu unggulan dipergunakan, yaitu kayu ulin, bungor, jati, kalimpapa, bintagor, kesambi dan nyamplong. Lama pembuatannya sekitar empat bulan enam hari dan dilakukan oleh 26 orang tanpa menggunakan sebatang pun paku atau besi. Mulai dari kerangka utama, dinding-dinding penutup, alas dek, tiang layar, tongkat kemudi, poros cadiknya, hingga dayungnya semua dari kayu. Sementara cadik ganda dan poros penggulung layar kapal terbuat dari bambu pilihan. Kayu dan bambu itu dirangkai satu sama lain dengan pasak kayu atau diikat dengan tali temali tradisional yang terbuat dari tumbuhan, yaitu sabut kelapa, serat nanas, dan ijuk. Termasuk tali untuk pengikat layar pun terbuat dari tali yang sama. Layar terbuat dari kain tetoron merek Famatex.

Dua motor masing-masing berkekuatan 22 PK ditempelkan di kiri dan kanan perahu, berfungsi untuk melakukan manuver ketika perahu hendak berangkat atau berbelok serta mendorong manakala perahu mati angin. Di bagian depan kanan, di luar perahu, terdapat "kamar mandi", yang dibuat dari beberapa bambu disilangkan untuk pijakan kaki dan tempat ember bertali, diberi sekat agar awak lain di atas perahu tak bisa menonton. Jika ombak besar datang dari arah kanan maka pengguna pasti akan basah kuyup.

Di geladak tengah ada ruang untuk istirahat, kiri-kanan perahu dipenuhi jeriken isi air bersih disamping bensin untuk persediaan generator dan motor tempel. Di palka kiri-kanan dipasang tempat tidur susun, 17 buah, begitu sempit, seolah penggunanya tak perlu berpindah posisi tidur. Di bagian belakang ditata sebagai dapur, ruang nakhoda, tempat cuci piring, pompa air, kompor, persediaan minyak, dan tempat perabot makan.

Begitulah keadaan perahu yang dicontoh dari relief Candi Borobudur yang dibuat pada abad ke-8 tersebut. Pembuatan kapal tersebut menelan biaya sekitar Rp 250 juta. Selanjutnya, untuk menyukseskan ekspedisi, kapal tradisional yang dikerjakan dengan tangan ini dilengkapi dengan sejumlah peralatan modern yaitu sistem pelacak posisi satelit global GPS, sistem radio keselamatan NavTex, sistem pengindera kedalaman echo-sounder, dan telepon satelit. Perahu berawak 16 orang multibangsa itu (Indonesia, Amerika, Swiss, Australia, Inggris, Selandia Baru, Afrika Selatan) akan berlayar ke Afrika melewati Seychelles, Madagaskar, Afrika Selatan, dan berakhir di Ghana dalam jangka empat bulan.


Petualangan dimulai

Pada tanggal 15 Agustus 2003, Presiden Megawati memberikan nama Samudraraksa kepada kapal Borobudur tersebut dan melepaskannya dari kawasan Marina Ancol, Jakarta, untuk memulai petualangan di Samudera Hindia dengan menempuh empat leg perjalanan. Leg adalah istilah pembagian rute perjalanan. Leg pertama dari Jakarta ke Seychelles, leg kedua Seychelles-Madagaskar, leg ketiga Madagaskar-Cape Town, dan leg terakhir atau leg keempat Cape Town-Ghana. Secara keseluruhan jarak yang ditempuh adalah 27.750 km atau sama dengan separuh keliling bumi.

Dari tujuh awak perahu dari Indonesia, tiga di antaranya berasal dari Pagerungan, tempat perahu itu dibuat. Mereka memang pelaut: Julhan, ahli mesin motor; Muhammad Abdu, pelaut berpengalaman; dan Sudirman, tukang kayu yang ikut membuat perahu tersebut. Ketiganya merupakan tulang punggung pelayaran ini. Lainnya Niken Maharani (alumni IPB), Shierlyana Junita (UI), Mujoko (alumni IPB), dan Kapten TNI-AL I.G. Putu Ngurah Sedana yang bertindak sebagai nakhodanya.

Meski sudah dilepas secara resmi oleh Presiden, kapal tersebut sebetulnya belum siap berlayar. Banyak peralatan belum dipasang selain generator listrik yang masih rusak. Dari Marina Ancol memutar masuk Pondok Duyung untuk lego jangkar. Mujoko selama dua hari berkeliling Jakarta mencari baterai untuk generator. Tanpa generator, perahu bisa "hilang" sebab alat itulah sumber listrik di perahu.

[bersambung]