Freitag, Mai 19, 2006

Sejuta Cerita Samudraraksa 1

Raksasa Samudera

Samudraraksa, itulah nama besar yang disematkan oleh Presiden Megawati kepada kapal kayu kecil yang hanya diawaki oleh 15 orang tersebut. Kapal yang dibangun dengan teknologi tradisional Nusantara itu menyusuri jalur niaga abad ke-8 Masehi yang dikenal dengan jalur kayu manis (cinnamon route), mengelilingi separuh lingkaran bumi, dari ujung barat Pulau Jawa menuju ujung barat Benua Afrika, untuk membuktikan kehebatan maritim nenek moyang bangsa Indonesia.


Membaca batu candi

Cerita petualangan ini bermula dari ketakjuban Philip Beale, pensiunan perwira angkatan laut Inggris, terhadap panel-panel relief yang menggambarkan kapal-kapal niaga di Candi Borobudur, Jawa Tengah, pada tahun 1982. Ada enam buah kapal besar dan empat kapal kecil. Kapal-kapal besar tersebut menggunakan layar dan cadik, sementara kapal yang lebih kecil hanya menggunakan dayung. Philip bepikir kapal inilah yang menjadi jembatan terapung di atas gelombang, penghubung Indonesia dan Afrika pada era awal milenium. "Seketika itu juga saya langsung bermimpi dapat membuat kembali kapal itu, dan melayarkannya menyeberangi Samudera Hindia seperti yang dilakukan pada waktu itu," tuturnya.

Ketakjuban tersebut berlanjut kepada mimpi, dan impian itu disimpan oleh Philip selama 20 tahun, hingga akhirnya ia bersua dengan Nick Burningham, di Italia, pada bulan September 2002. Nick adalah seorang arkeolog maritim berkebangsaan Australia yang menguasai teknologi kapal tradisional Nusantara. Kajian intensif dari segi teknik dan akademik pun dilakukan oleh mereka berdua untuk mewujudkan impian Philip tersebut.

Membuat kapal semirip mungkin dengan aslinya tentu tidak mudah, yang tersedia hanya relief 2 dimensi tanpa skala nyata dan minim catatan-catatan teknis. Apalagi semua relief di Candi Borobudur tersebut menggambarkan perahu yang berbeda jenisnya. Berapa ukuran sebenarnya, berapa penumpangnya, bahan apa yang dipergunakan untuk membuatnya?

Untuk menjawab pertanyaan di atas, Philip dan Nick kemudian menelusuri jejak-jejak sejarah. Konon para pelaut Nusantara berdagang kayu manis hingga Afrika. Rute kayu manis (cinnamon route) yang mungkin mereka lalui adalah dengan menyeberangi Samudra Hindia, lewat Maldives, Madagaskar, Cape Town, lalu mencapai Ghana. Dengan perkiraan jumlah awak, jarak yang ditempuh, dan bekal yang dibawa, maka akan dapat diperoleh ukuran kapal yang dibutuhkan.

Waktu itu, tiap kapal diperkirakan membawa 20 hingga 30 awak, membawa 2 ton rempah-rempah, air 1500 liter, beras, kayu bakar dan keperluan lain hingga 8,5 ton. Tempat yang dibutuhkan untuk meletakkan barang-barang tersebut diperkirakan mencapai 13 meter kubik, ditambah 18 meter persegi untuk tempat tidur awak kapal. Perhitungan diatas didasarkan pada anggapan bahwa kapal singgah di beberapa tempat tertentu untuk menambah muatan yang habis selama perjalanan.

Berdasarkan perhitungan tersebut diatas dan berbagai pertimbangan lain, maka replika kapal Borobudur dirancang agar bisa membawa 16 orang penumpang, 1.500 liter air, 900 kg beras, 1 ton kayu bakar, 0,5 ton makanan dan bumbu, 0,5 ton barang-barang pribadi dan peralatan, serta 2 ton rempah-rempah. Dari situ pula diperoleh kapal dengan berat 30 gross ton (GT), panjang 18,29 meter, lebar 4,5 meter, dan tinggi 2,25 meter. Ukuran tersebut kurang lebih cocok dengan jumlah dayung pada relief Borobudur, dimana masing ruang dayung diperkirakan berukuran 1 hingga 1,5 meter.

Setelah memperoleh dimensi kapal, masih ada pertanyaan yang timbul: apakah kapal Borobudur memiliki dua cadik atau hanya satu, mengingat relief candi itu hanya memperlihatkan kapal dari satu sisi. Belajar dari perahu-perahu tradisional di kawasan Nusantara, maka disimpulkan perahu Borobudur bercadik ganda. Alasannya perahu bercadik tunggal biasanya memerlukan awak sebagai penyeimbang cadik. Hal itu tidak mungkin dilakukan untuk perjalanan jauh.

Ukuran cadik juga sempat jadi kebimbangan karena kebanyakan kapal memiliki cadik paling tidak sama panjang dengan badan kapal. Relief Borobudur melukiskan kapal dengan cadik yang jauh lebih pendek dari panjang kapal. Cadik tersebut bahkan mengambang dan tidak menyentuh air. Cadik semacam ini akan memiliki daya apung dan fungsi keseimbangan lebih kecil dibanding cadik panjang yang menyentuh air. Namun karena ukuran bambu yang tersedia - seperti masalah yang mungkin dihadapi kapal Borobudur zaman dulu - maka replika kapal Borobudur pun dibuat dengan cadik pendek.

Hal-hal lain yang juga harus diinterpretasikan sendiri adalah konstruksi lambung kapal, yang akhirnya ditiru dari kapal-kapal tradisional yang ada di Indonesia.

[bersambung]

1 Comments:

At 5:24 PM, Blogger Unknown said...

tulisan yang sangat berharga. saya tengah mencari referensi tentang sejarah kapal-kapal nusantara. saya memerlukan bahan-bahan untuk menguatkan karangan cerita komik saya. ini sangat bagus. terimakasih atas tulisan anda

 

Kommentar veröffentlichen

<< Home