Donnerstag, Mai 18, 2006

Balada si Anak Sukses

Alkisah, ada seorang anak kampung yang sukses merantau. Perubahan status vertikal sebagai angan-angan ketika kecil dikecapnya di kota besar. Sayangnya dia memiliki persepsi yang salah tentang kesuksesan tersebut. Pemikiran materialistis mengajarkannya bahwa kesuksesan hanyalah sah bila didukung oleh tampilan yang gemerlapan. Masa lalunya yang bersahaja dianggapnya kain rombeng yang harus dibuang jauh. Dalam sebuah perjalanan, perjumpaannya dengan sang Ibunda kandung yang masih tampil sederhana setelah berpisah puluhan tahun ibarat debu yang menempel di kristal emas. Sang Ibunda tidak diakui dan diusir, dan doa kekecewaan pun terlontar dari bibir Ibunda yang mulia. Syahdan, sang anak durhaka beserta perahu dagang yang dimilikinya terkena badai dan tenggelam, semua menjadi abadi, semua menjadi bebatuan, sebagai bahan peringatan generasi penerus.

Kisah rakyat tersebut populer secara nasional sebagai hikayat Malin Kundang, berasal dari ranah Minang. Bahkan orang-orang masih bisa menunjukkan dimana letak bebatuan yang berasal dari sisa kapal dan mana yang berasal dari jasad si Malin Kundang.

Uniknya, cerita serupa yang didukung oleh bukti artefak bebatuan juga dimiliki oleh kebudayaan daerah lain. Di pulau Kalimantan, setidaknya saya pernah mengenalnya dari Kalimantan Selatan (di kaki pegunungan Meratus, Kabupaten Hulu Sungai Selatan) dan dari Kalimantan Tengah (di kaki perbukitan Tangkiling, Kota Palangkaraya). Di bagian utara Kalimantan di negeri jiran, Brunei Darussalam, di seberang Istana Nurul Iman, di tepian Sungai Brunei, terdapat sebuah batu runcing serupa ujung layar sebuah perahu, terkenal dengan nama “Jong Batu”. Itulah yang disebut rakyat setempat sebagai sisa kapal sang anak durhaka dalam legenda “Nakhoda Manis” yang persis sama dengan si Malin Kundang.

Itu semua yang berasal dari rantau Melayu yang pernah saya dengar. Saya pun pernah diceritakan seorang sahabat Vietnam bahwa di daerahnya juga memiliki legenda serupa, dengan alur cerita yang sama persis. Menakjubkan, bukan? Bagaimana sebuah legenda rakyat masa lampau mampu menembus sekat-sekat jarak, bahasa dan kebudayaan. Apakah legenda tersebut memang benar pernah terjadi dan menjadi buah tutur orang-orang jaman dahulu dan disebarkan oleh para pelaut-pedagang antar kepulauan? Lantas karena moral cerita tersebut sangat bagus, maka para leluhur pun mencari dan menciptakan bukti artefak bebatuan yang mendukung kisahnya. Walahu’alam.

Yang jelas, si Malin ini seorang pelaut yang memiliki jiwa bisnis yang besar, tipikal rakyat maritim kita jaman dahulu. Dia mampu menguasai dan memanfaatkan kelebihan alam dengan menjadi pelaut. Motivasinya untuk maju membuatnya berhasil mempelajari tata perniagaan dan sukses menjadi pedagang.

Tak ada manusia yang sempurna, kesuksesan tersebut justru membuat hatinya menjadi batu dan tidak mau mengakui bahwa semuanya tak lepas dari andil sang Ibunda. Bila hati telah membatu, maka jasad rupawan pun tiada guna (dan disimbolkan pula menjadi batu). Sedangkan semua harta duniawi tidaklah bermanfaat bila tidak dilampiri akhlak yang mulia (juga disimbolkan sebagai perahu yang membatu). Tak aneh bila di dalam Quran dan Hadist bertaburan perintah untuk memuliakan orangtua dan berbakti terhadap mereka (terlebih kepada sang Ibu).