Freitag, Mai 26, 2006

Sejuta Cerita Samudraraksa 4

Menuju Madagaskar: pelaut Muslim berbicara dengan angin

Pelayaran kapal Samudraraksa dari Seychelles menuju Madagaskar sangat berat. Angin sering mati. Kalaupun ada, angin pun bertiup dari arah depan, membuat seluruh awak perahu harus bekerja keras. Pernah selama dua hari angin mati, artinya tidak ada tiupan angin yang bisa menggerakkan perahu tersebut. Motor tempel di kiri kanan perahu hanya sedikit menolong, maklum tenaganya tidak seberapa. Kalau sudah begini, Muhammad Abdu, kepala dusun yang sudah banyak berlayar segera berbicara dengan angin.

Manusia tidak boleh mendahului kehendak-Nya, begitu prinsip Abdu. Ditegaskannya bahwa manusia harus bersikap wajar, "Jika merasa senang janganlah terlalu senang, tetapi jika merasa susah jangan terlalu susah". Dalam setiap awal perjalanannya, ia selalu melafalkan Surat Al An-aam yang intinya kepasrahan kepada Tuhan. Doa pasrah inilah yang membuatnya tegar dan yakin bahwa Tuhan selalu mendampinginya.

Jika ia berbicara kepada angin, sebenarnya ia berbicara pada dirinya sendiri. Ia berbicara dalam bahasa Bajo, intinya minta agar angin datang dan menolongnya. Awak yang lain selalu tersenyum kecut mendengar ia berbicara kepada angin. Apalagi bagi para awak kapal asing yang tentunya tak masuk di akal mereka walau akhirnya angin pun datang.

Perbedaan budaya ini sempat sulit dipadukan. Orang-orang Bajo yang begitu akrab dengan laut, bisa mendeteksi angin dengan cuping telinganya. Mereka tahu angin akan datang dari arah mana dengan mengandalkan daun telinga. Awan yang berarak bisa menjadi tanda apakah hujan juga membawa pusaran angin. Tetapi, bagi awak kapal berkebangsaan asing, mereka berpegang pada peta, kompas, kecepatan angin, dan ramalan cuaca. Mereka tidak mau lepas dari kompas, sementara para pelaut tradisional Nusantara lebih berpegang pada letak bintang-bintang di langit.

Pelayaran Seychelles-Madagaskar merupakan ujian untuk membuktikan mana yang benar. Angin yang datang dari depan tak bisa ditahan dengan layar perahu walau menggunakan motor tempel. Akhirnya awak perahu asing menyerah dan Abdu beserta rekan-rekannya berhasil melakukan perjalanan zig-zag dengan memindah-mindahkan arah layarnya. Layar dipasang dalam sudut tertentu agar angin menyenggol dan membawa perahu ke kiri atau ke kanan.

Pekerjaan ini melelahkan karena memindahkan layar untuk mendapatkan embusan angin dengan arah yang kita inginkan bukanlah sederhana. Pertama, layar diturunkan kemudian digeser, baru dinaikkan lagi dan dicari sudut yang pas. Itu dilakukan berulang-ulang sehingga salah satu layar robek dan tali pengikat layar putus. Semua pekerjaan itu menjadi tanggung jawab awak dari Pagerungan karena hanya merekalah yang mampu dan mengerti. Awak yang lain hanya membantu sebagaimana diminta oleh pelaut asli tersebut melalui penerjemah.

Semua ini membuat perjalanan menjadi lambat walau akhirnya selamat sampai tujuan, Pelabuhan Mahajanga, 600 kilometer barat laut Antananarivo, ibu kota Madagaskar. Jarak yang hanya sekitar 700 mil itu harus ditempuh dalam 17 hari, bandingkan dengan Jakarta-Seychelles yang 3.300 mil dalam 26 hari.

Hari itu tercapai sudah alur perdagangan rempah-rempah Indonesia-Madagaskar. Setelah memperbaiki mesin motor tempel yang rusak dan mengikuti berbagai acara yang disiapkan KBRI Madagaskar, tanggal 25 Oktober perahu bertolak ke Afrika Selatan. Rute ini paling berbahaya karena harus melampaui Tanjung Harapan yang merupakan tempat pertemuan arus Samudera Hindia dengan Samudera Atlantik. Beberapa awak turun, termasuk Muhammad Habibie yang baru naik dari Seychelles, tanpa ada penggantian. Kini awak kapal hanya tinggal bertiga belas.

[bersambung]

Montag, Mai 22, 2006

Sejuta Cerita Samudraraksa 3

Mengarungi Samudera Hindia: the answer my friend, is depend on the wind…

Pukul 06.00 tanggal 17 Agustus, perahu itu akhirnya angkat jangkar. Baru beberapa meter menjelang keluar Pondok Duyung, sebuah kapal besar masuk, awak perahu panik dan segera memutar arah. Pemutaran arah bagi perahu layar bukanlah masalah sederhana karena harus tahu dari mana arah datangnya angin. Ketika cobaan itu lepas, perahu pun melenggang menuju Selat Sunda. Pantai masih jelas walau makin lama makin tersamar. Pukul 23.15 hujan deras mengguyur perahu, para awak perahu segera berhambur keluar untuk berhujan-hujan. Maklum sudah beberapa hari mereka tidak sempat mandi segar. Mereka bagai anak kecil berjingkrak-jingkrak sambil berteriak-teriak, begitu tulis Niken dalam catatannya. Pontus Krook dan Paul Bayly yang terlambat bergabung kebingungan ketika sedang bersabun ternyata hujan berhenti.

Keesokan harinya, 18 Agustus, pantai Cilegon tampak jelas dari perahu. Namun, angin tiba-tiba mati. Untuk menghindari karang Kepulauan Sayangan, mereka mendayung di kiri-kanan perahu. Sebelah kiri tim Indonesia dan sebelah kanan orang bule. Semangat mendayung begitu kuat, akibatnya perahu hanya berputar ke kiri karena tim Indonesia kalah kuat. Akhirnya motor dihidupkan, arah layar dibenahi dan secara perlahan perahu bergerak. Dan, 19 Agustus perahu bercadik itu pun masuk perairan Samudra Hindia.

Dalam perjalanan menuju Seychelles ini awak perahu dibagi dalam dua kelompok, masing-masing bertugas selang empat jam. Setiap regu dibagi tugas untuk pegang kemudi, memompa air, menjaga depan, dan mencek tali-tali, memeriksa galon-galon air apakah masih terikat erat, serta memasak. Awak dari Indonesia pun dibagi ke dalam kedua kelompok tersebut. Niken dan Sherly lebih banyak bertugas sebagai penerjemah. Maklum komando dipegang Nick Burningham, pelaut asal Australia, sementara petugas yang mengendalikan perahu terutama pasang-gulung layar dan pindah layar adalah para pelaut asal Pagerungan yang tidak tahu bahasa Inggris. Kedua gadis ini ketika tugas jaga harus berlari ke depan dan belakang serta berteriak-teriak menerjemahkan perintah komandannya.

Tanggal 21 Agustus angin Samudra Hindia begitu kencang, perahu melaju dengan kecepatan rata-rata 8 knot per jam. Nick meminta Niken belajar mengemudi dan panjat tiang layar. Menurut Niken ia memang lalu belajar mengemudikan perahu, semula terasa berat, namun setelah itu menjadi biasa. Mata ke depan, sesekali melihat kompas agar arah perahu tidak melenceng. Nick sering berteriak minta agar jangan sampai lupa menengok kompas. Namun, di tengah samudra luas di mana mata memandang hanyalah cakrawala, memang membuat jenuh. Hiburan satu-satunya jika melihat di kejauhan ada kapal atau melihat ikan- ikan beterbangan di sisi perahu. Kalau sudah begitu semua berteriak, semua naik ke geladak.

Begitu jenuhnya, akhirnya Nick mengadakan sayembara: siapa yang pancingnya dapat ikan duluan akan diberi 25 dolar AS. Semua mencoba dan baru tanggal 27 Agustus Kapten Putu memenangkan pertandingan. Namun, itu pun setelah perahu diombang-ambingkan ombak setinggi sekitar 9 meter. Ombak besar itu datang tanggal 24 Agustus, terus-menerus membuat awak perahu kelelahan. Di sini kelihaian pemegang kemudi diuji. Ia harus bisa membuat perahu berada di atas ombak, jangan sampai menerjangnya. "Pada saat itu kami hanya bisa berdoa, bayangkan ombak setinggi perahu di depan kita," kenang Niken.

Ketika ombak reda dan Matahari muncul di cakrawala timur, keindahan laut pun seolah tiada duanya. "Bagus sekali, saya tak bisa menggambarkannya," ucap Mujoko. Dan, pada tanggal 1 September, setelah melihat peta, Req Hill berteriak bahwa Seychelles tinggal separuh perjalanan lagi. Awak kapal non-Indonesia kemudian berpesta untuk merayakan kesuksesan perjalan. Namun, akhirnya mereka sadar bahwa walau tinggal separuh, namun semua tergantung pada arah dan kecepatan angin. Pouria Mahroueian, awak dari Afrika Selatan, menjawab keceriaan itu dengan melantunkan lagu Kansas “Dust in the Wind“ yang dipelesetkan: … the answer my friend is depend on the wind, the answer is depend on the wind. Lagu itu akhirnya menjadi lagu wajib pada saat kesepian, disamping lagu Krisdayanti “Menghitung Hari”.

Esok harinya, tali penyusur layar muka bagian bawah putus. Tali itu menjorok di luar perahu sehingga sangat sukar memperbaikinya. Julhan dengan cekatan menyusur bambu hingga di luar perahu dan menyambung tali tersebut. Sungguh pekerjaan yang mengagumkan bagi mereka yang melihat. Dalam keadaan bergoyang oleh ombak, Julhan dengan ringan meniti bambu hingga keluar perahu. Salah langkah, ia akan terpeleset dan masuk samudra. Ini untuk kedua kalinya tali putus. Sebelumnya, tali layar putus pada dini hari tanggal 26 Agustus. Maklum tali tersebut terbuat dari serat pepohonan pantai yang biasa digunakan pelaut zaman dulu.

Hujan tiada henti turun, padahal tak seorang pun yang membawa jas hujan. Menurut Niken, pada saat hujan begitu, air menembus pakaian dalam sehingga membuat orang masuk angin.

Pada tanggal 8 September, Kapten Putu ulang tahun. Awak perahu sibuk menyiapkan pesta walau seadanya, namun tetap mengharukan. Apalagi Allan Cambell, ship’s master, menyatakan bahwa pelabuhan tujuan tinggal 735 mil atau sekitar tiga hari lagi. Semua bergembira. Dan, benar, pada tanggal 12 September pukul 01.42 perahu Borobudur tiba di Pelabuhan Seychelles setelah mengarungi 3.300 mil dalam 26 hari.

Tujuh belas hari mereka berada di Seychelles. Selain untuk mengisi perbekalan, mereka menunggu kedatangan awak perahu yang baru. Di negara ini Shirley digantikan Muhammad Habibie, mahasiswa ITS Surabaya. Sementara itu, empat awak: Nick Burningham, Paul Bayly, Reg Hill, dan Pouria digantikan Corrina Gillard, Clair Armitage, Danielle Eubank, dan Richard Kruger.

[bersambung]

Sonntag, Mai 21, 2006

Sejuta Cerita Samudraraksa 2

Mimpi terwujud di Pulau Kangean

Philip dan Nick kemudian memilih As’ad Abdullah untuk mewujudkan sketsa teknis kapal Borobudur. As’ad adalah seorang nelayan tangguh dari Desa Pagerungan, Sapeken, Sumenep, Jawa Timur, dikenal sebagai jagoan pembuat kapal dan telah menyelesaikan 40 perahu layar dan 16 kapal selama 30 tahun.

Dalam proses pengerjaannya, mereka mencontoh apa yang dilakukan nenek moyang dahulu. Seluruh bagian kapal Borobudur terbuat dari kayu. Sedikitnya tujuh jenis kayu unggulan dipergunakan, yaitu kayu ulin, bungor, jati, kalimpapa, bintagor, kesambi dan nyamplong. Lama pembuatannya sekitar empat bulan enam hari dan dilakukan oleh 26 orang tanpa menggunakan sebatang pun paku atau besi. Mulai dari kerangka utama, dinding-dinding penutup, alas dek, tiang layar, tongkat kemudi, poros cadiknya, hingga dayungnya semua dari kayu. Sementara cadik ganda dan poros penggulung layar kapal terbuat dari bambu pilihan. Kayu dan bambu itu dirangkai satu sama lain dengan pasak kayu atau diikat dengan tali temali tradisional yang terbuat dari tumbuhan, yaitu sabut kelapa, serat nanas, dan ijuk. Termasuk tali untuk pengikat layar pun terbuat dari tali yang sama. Layar terbuat dari kain tetoron merek Famatex.

Dua motor masing-masing berkekuatan 22 PK ditempelkan di kiri dan kanan perahu, berfungsi untuk melakukan manuver ketika perahu hendak berangkat atau berbelok serta mendorong manakala perahu mati angin. Di bagian depan kanan, di luar perahu, terdapat "kamar mandi", yang dibuat dari beberapa bambu disilangkan untuk pijakan kaki dan tempat ember bertali, diberi sekat agar awak lain di atas perahu tak bisa menonton. Jika ombak besar datang dari arah kanan maka pengguna pasti akan basah kuyup.

Di geladak tengah ada ruang untuk istirahat, kiri-kanan perahu dipenuhi jeriken isi air bersih disamping bensin untuk persediaan generator dan motor tempel. Di palka kiri-kanan dipasang tempat tidur susun, 17 buah, begitu sempit, seolah penggunanya tak perlu berpindah posisi tidur. Di bagian belakang ditata sebagai dapur, ruang nakhoda, tempat cuci piring, pompa air, kompor, persediaan minyak, dan tempat perabot makan.

Begitulah keadaan perahu yang dicontoh dari relief Candi Borobudur yang dibuat pada abad ke-8 tersebut. Pembuatan kapal tersebut menelan biaya sekitar Rp 250 juta. Selanjutnya, untuk menyukseskan ekspedisi, kapal tradisional yang dikerjakan dengan tangan ini dilengkapi dengan sejumlah peralatan modern yaitu sistem pelacak posisi satelit global GPS, sistem radio keselamatan NavTex, sistem pengindera kedalaman echo-sounder, dan telepon satelit. Perahu berawak 16 orang multibangsa itu (Indonesia, Amerika, Swiss, Australia, Inggris, Selandia Baru, Afrika Selatan) akan berlayar ke Afrika melewati Seychelles, Madagaskar, Afrika Selatan, dan berakhir di Ghana dalam jangka empat bulan.


Petualangan dimulai

Pada tanggal 15 Agustus 2003, Presiden Megawati memberikan nama Samudraraksa kepada kapal Borobudur tersebut dan melepaskannya dari kawasan Marina Ancol, Jakarta, untuk memulai petualangan di Samudera Hindia dengan menempuh empat leg perjalanan. Leg adalah istilah pembagian rute perjalanan. Leg pertama dari Jakarta ke Seychelles, leg kedua Seychelles-Madagaskar, leg ketiga Madagaskar-Cape Town, dan leg terakhir atau leg keempat Cape Town-Ghana. Secara keseluruhan jarak yang ditempuh adalah 27.750 km atau sama dengan separuh keliling bumi.

Dari tujuh awak perahu dari Indonesia, tiga di antaranya berasal dari Pagerungan, tempat perahu itu dibuat. Mereka memang pelaut: Julhan, ahli mesin motor; Muhammad Abdu, pelaut berpengalaman; dan Sudirman, tukang kayu yang ikut membuat perahu tersebut. Ketiganya merupakan tulang punggung pelayaran ini. Lainnya Niken Maharani (alumni IPB), Shierlyana Junita (UI), Mujoko (alumni IPB), dan Kapten TNI-AL I.G. Putu Ngurah Sedana yang bertindak sebagai nakhodanya.

Meski sudah dilepas secara resmi oleh Presiden, kapal tersebut sebetulnya belum siap berlayar. Banyak peralatan belum dipasang selain generator listrik yang masih rusak. Dari Marina Ancol memutar masuk Pondok Duyung untuk lego jangkar. Mujoko selama dua hari berkeliling Jakarta mencari baterai untuk generator. Tanpa generator, perahu bisa "hilang" sebab alat itulah sumber listrik di perahu.

[bersambung]

Freitag, Mai 19, 2006

Sejuta Cerita Samudraraksa 1

Raksasa Samudera

Samudraraksa, itulah nama besar yang disematkan oleh Presiden Megawati kepada kapal kayu kecil yang hanya diawaki oleh 15 orang tersebut. Kapal yang dibangun dengan teknologi tradisional Nusantara itu menyusuri jalur niaga abad ke-8 Masehi yang dikenal dengan jalur kayu manis (cinnamon route), mengelilingi separuh lingkaran bumi, dari ujung barat Pulau Jawa menuju ujung barat Benua Afrika, untuk membuktikan kehebatan maritim nenek moyang bangsa Indonesia.


Membaca batu candi

Cerita petualangan ini bermula dari ketakjuban Philip Beale, pensiunan perwira angkatan laut Inggris, terhadap panel-panel relief yang menggambarkan kapal-kapal niaga di Candi Borobudur, Jawa Tengah, pada tahun 1982. Ada enam buah kapal besar dan empat kapal kecil. Kapal-kapal besar tersebut menggunakan layar dan cadik, sementara kapal yang lebih kecil hanya menggunakan dayung. Philip bepikir kapal inilah yang menjadi jembatan terapung di atas gelombang, penghubung Indonesia dan Afrika pada era awal milenium. "Seketika itu juga saya langsung bermimpi dapat membuat kembali kapal itu, dan melayarkannya menyeberangi Samudera Hindia seperti yang dilakukan pada waktu itu," tuturnya.

Ketakjuban tersebut berlanjut kepada mimpi, dan impian itu disimpan oleh Philip selama 20 tahun, hingga akhirnya ia bersua dengan Nick Burningham, di Italia, pada bulan September 2002. Nick adalah seorang arkeolog maritim berkebangsaan Australia yang menguasai teknologi kapal tradisional Nusantara. Kajian intensif dari segi teknik dan akademik pun dilakukan oleh mereka berdua untuk mewujudkan impian Philip tersebut.

Membuat kapal semirip mungkin dengan aslinya tentu tidak mudah, yang tersedia hanya relief 2 dimensi tanpa skala nyata dan minim catatan-catatan teknis. Apalagi semua relief di Candi Borobudur tersebut menggambarkan perahu yang berbeda jenisnya. Berapa ukuran sebenarnya, berapa penumpangnya, bahan apa yang dipergunakan untuk membuatnya?

Untuk menjawab pertanyaan di atas, Philip dan Nick kemudian menelusuri jejak-jejak sejarah. Konon para pelaut Nusantara berdagang kayu manis hingga Afrika. Rute kayu manis (cinnamon route) yang mungkin mereka lalui adalah dengan menyeberangi Samudra Hindia, lewat Maldives, Madagaskar, Cape Town, lalu mencapai Ghana. Dengan perkiraan jumlah awak, jarak yang ditempuh, dan bekal yang dibawa, maka akan dapat diperoleh ukuran kapal yang dibutuhkan.

Waktu itu, tiap kapal diperkirakan membawa 20 hingga 30 awak, membawa 2 ton rempah-rempah, air 1500 liter, beras, kayu bakar dan keperluan lain hingga 8,5 ton. Tempat yang dibutuhkan untuk meletakkan barang-barang tersebut diperkirakan mencapai 13 meter kubik, ditambah 18 meter persegi untuk tempat tidur awak kapal. Perhitungan diatas didasarkan pada anggapan bahwa kapal singgah di beberapa tempat tertentu untuk menambah muatan yang habis selama perjalanan.

Berdasarkan perhitungan tersebut diatas dan berbagai pertimbangan lain, maka replika kapal Borobudur dirancang agar bisa membawa 16 orang penumpang, 1.500 liter air, 900 kg beras, 1 ton kayu bakar, 0,5 ton makanan dan bumbu, 0,5 ton barang-barang pribadi dan peralatan, serta 2 ton rempah-rempah. Dari situ pula diperoleh kapal dengan berat 30 gross ton (GT), panjang 18,29 meter, lebar 4,5 meter, dan tinggi 2,25 meter. Ukuran tersebut kurang lebih cocok dengan jumlah dayung pada relief Borobudur, dimana masing ruang dayung diperkirakan berukuran 1 hingga 1,5 meter.

Setelah memperoleh dimensi kapal, masih ada pertanyaan yang timbul: apakah kapal Borobudur memiliki dua cadik atau hanya satu, mengingat relief candi itu hanya memperlihatkan kapal dari satu sisi. Belajar dari perahu-perahu tradisional di kawasan Nusantara, maka disimpulkan perahu Borobudur bercadik ganda. Alasannya perahu bercadik tunggal biasanya memerlukan awak sebagai penyeimbang cadik. Hal itu tidak mungkin dilakukan untuk perjalanan jauh.

Ukuran cadik juga sempat jadi kebimbangan karena kebanyakan kapal memiliki cadik paling tidak sama panjang dengan badan kapal. Relief Borobudur melukiskan kapal dengan cadik yang jauh lebih pendek dari panjang kapal. Cadik tersebut bahkan mengambang dan tidak menyentuh air. Cadik semacam ini akan memiliki daya apung dan fungsi keseimbangan lebih kecil dibanding cadik panjang yang menyentuh air. Namun karena ukuran bambu yang tersedia - seperti masalah yang mungkin dihadapi kapal Borobudur zaman dulu - maka replika kapal Borobudur pun dibuat dengan cadik pendek.

Hal-hal lain yang juga harus diinterpretasikan sendiri adalah konstruksi lambung kapal, yang akhirnya ditiru dari kapal-kapal tradisional yang ada di Indonesia.

[bersambung]

Donnerstag, Mai 18, 2006

Balada si Anak Sukses

Alkisah, ada seorang anak kampung yang sukses merantau. Perubahan status vertikal sebagai angan-angan ketika kecil dikecapnya di kota besar. Sayangnya dia memiliki persepsi yang salah tentang kesuksesan tersebut. Pemikiran materialistis mengajarkannya bahwa kesuksesan hanyalah sah bila didukung oleh tampilan yang gemerlapan. Masa lalunya yang bersahaja dianggapnya kain rombeng yang harus dibuang jauh. Dalam sebuah perjalanan, perjumpaannya dengan sang Ibunda kandung yang masih tampil sederhana setelah berpisah puluhan tahun ibarat debu yang menempel di kristal emas. Sang Ibunda tidak diakui dan diusir, dan doa kekecewaan pun terlontar dari bibir Ibunda yang mulia. Syahdan, sang anak durhaka beserta perahu dagang yang dimilikinya terkena badai dan tenggelam, semua menjadi abadi, semua menjadi bebatuan, sebagai bahan peringatan generasi penerus.

Kisah rakyat tersebut populer secara nasional sebagai hikayat Malin Kundang, berasal dari ranah Minang. Bahkan orang-orang masih bisa menunjukkan dimana letak bebatuan yang berasal dari sisa kapal dan mana yang berasal dari jasad si Malin Kundang.

Uniknya, cerita serupa yang didukung oleh bukti artefak bebatuan juga dimiliki oleh kebudayaan daerah lain. Di pulau Kalimantan, setidaknya saya pernah mengenalnya dari Kalimantan Selatan (di kaki pegunungan Meratus, Kabupaten Hulu Sungai Selatan) dan dari Kalimantan Tengah (di kaki perbukitan Tangkiling, Kota Palangkaraya). Di bagian utara Kalimantan di negeri jiran, Brunei Darussalam, di seberang Istana Nurul Iman, di tepian Sungai Brunei, terdapat sebuah batu runcing serupa ujung layar sebuah perahu, terkenal dengan nama “Jong Batu”. Itulah yang disebut rakyat setempat sebagai sisa kapal sang anak durhaka dalam legenda “Nakhoda Manis” yang persis sama dengan si Malin Kundang.

Itu semua yang berasal dari rantau Melayu yang pernah saya dengar. Saya pun pernah diceritakan seorang sahabat Vietnam bahwa di daerahnya juga memiliki legenda serupa, dengan alur cerita yang sama persis. Menakjubkan, bukan? Bagaimana sebuah legenda rakyat masa lampau mampu menembus sekat-sekat jarak, bahasa dan kebudayaan. Apakah legenda tersebut memang benar pernah terjadi dan menjadi buah tutur orang-orang jaman dahulu dan disebarkan oleh para pelaut-pedagang antar kepulauan? Lantas karena moral cerita tersebut sangat bagus, maka para leluhur pun mencari dan menciptakan bukti artefak bebatuan yang mendukung kisahnya. Walahu’alam.

Yang jelas, si Malin ini seorang pelaut yang memiliki jiwa bisnis yang besar, tipikal rakyat maritim kita jaman dahulu. Dia mampu menguasai dan memanfaatkan kelebihan alam dengan menjadi pelaut. Motivasinya untuk maju membuatnya berhasil mempelajari tata perniagaan dan sukses menjadi pedagang.

Tak ada manusia yang sempurna, kesuksesan tersebut justru membuat hatinya menjadi batu dan tidak mau mengakui bahwa semuanya tak lepas dari andil sang Ibunda. Bila hati telah membatu, maka jasad rupawan pun tiada guna (dan disimbolkan pula menjadi batu). Sedangkan semua harta duniawi tidaklah bermanfaat bila tidak dilampiri akhlak yang mulia (juga disimbolkan sebagai perahu yang membatu). Tak aneh bila di dalam Quran dan Hadist bertaburan perintah untuk memuliakan orangtua dan berbakti terhadap mereka (terlebih kepada sang Ibu).

Mittwoch, Mai 17, 2006

Sastra Kelautan

Dari sedikit buku sastra yang pernah saya baca, mungkin sebagian karya-karya Pramoedya Ananta Toer lah yang mampu menggugah rasa kebaharian di dalam diri saya. Pram memang sedikit (atau satu-satunya?) dari sastrawan Indonesia yang konsisten mengisi roh kebaharian ke dalam karya-karyanya. Ada satu karya fenomenal Pram yang mengagumkan, yaitu “Arus Balik” (1995). Novel setebal 724 halaman ini adalah fiksi sejarah dengan latar belakang runtuhnya kerajaan-kerajaan Hindu dan munculnya kerajaan-kerajaan Islam nusantara, pada paruh abad ke-15 dan -16. Mungkin bila bisa diwajibkan novel tersebut menjadi bacaan wajib para anak sekolah menengah, saya yakin cinta dan kebanggaan bahari mereka akan terbangkitkan. Bahkan menurut rumor, konon novel tersebut memberikan inspirasi kepada Presiden Gus Dur untuk membentuk Departemen Kelautan di dalam republik maritim yang telah berusia setengah abad lebih ini.

Berikut cuplikan dari “Arus Balik”:

Sekarang makin lama makin sedikit kapal-kapal Jawa berlayar ke utara, ke Atas Angin, ke Campa ataupun ke Tiongkok. Arus kapal dari selatan semakin tipis. Sebaliknya arus dari utara semakin deras, membawa barang-barang baru, pikiran-pikiran baru, agama baru. Juga ke Tuban. ....

Dahulu, di jaman kejayaan Majapahit, arus bergerak dari selatan ke utara, dari Nusantara ke Atas Angin. Majapahit adalah kerajaan laut terbesar di antara bangsa-bangsa beradab di muka bumi ini. Kapal-kapalnya, muatannya, manusianya, amal dan perbuatannya, cita-citanya – semua itulah arus selatan ke utara. Segala-galanya datang dari selatan. Majapahit jatuh. Sekarang orang tidak mampu lagi membuat kapal besar. Kapal kita makin lama makin kecil seperti kerajaannya. Karena, ya, kapal besar hanya dibikin oleh kerajaan besar. Kapal kecil dan kerajaan kecil menyebabkan arus tidak bergerak ke utara, sebaliknya, dari utara sekarang keselatan, karena Atas Angin lebih unggul, membawa segala-galanya ke Jawa, termasuk penghancuran, penindasan, dan penipuan. Makin lama kapal-kapal kita akan semakin kecil untuk kemudian tidak mempunyai sama sekali. .....

Tidak mungkin – asal kalian menguasai jalan laut lagi. Selama mereka yang menguasai, mereka takkan menenggang kapal kita, akan menghancurkannya sama sekali. Sampai kita dibikin tidak beranjak dari dusun kita sendiri di pesisir dan gunung.


Karya Pram lainnya yang memuat sinisme terhadap kondisi maritim kita adalah “Nyanyi Sunyi Seorang Bisu” (1995). Memoir yang bercerita tentang pengalaman kelabunya saat menjadi Tapol di Pulau Buru, dibuka dengan cerita pemindahan para Tapol dari Nusakambangan ke Pulau Buru dengan menggunakan Kapal Perang ALRI Adri XV, sebuah kapal rongsokan yang sangat kotor namun tetap mampu beroperasi. Seringkali dalam perjalanan, mesin kapal tersebut mati dan terombang-ambil di lautan selama berjam-jam. Kecepatan maksimum kapal digambarkan sama dengan kecepatan orang bersepeda santai. “Bagaimana pun juga, kapal ini adalah milik negara kepulauan terbesar di dunia!”. Melihat kondisi kapal yang demikian, Pram mempertanyakan, “apakah kita betul-betul keturunan bangsa pelaut?”. “Ribuan tahun yang lalu, nenek moyang kita telah melalui perairan ini – guru-guru kita tidak berbohong, bukan? – dengan perahu yang mereka buat dengan tangan mereka sendiri, yang pasti jauh lebih bersih daripada Adri XV. Tidak, guru-guru kita tidak berbohong. Pelaut-pelaut Bugis, Makassar dan Madura terkenal karena perahu layar mereka. Bahkan hingga hari ini kapal-kapal mereka masih jauh lebih baik daripada yang ini (Adri XV – red) yang dibeli oleh negara.

Pram yang mencintai laut, meskipun kelahiran Blora, yang terletak di pedalaman Jawa Tengah, memang berasal dari keturunan masyarakat pesisir di daerah Rembang, Jawa Tengah. Dalam novel “Gadis Pantai” (1991), Pram menceritakan tentang sejarah hidup neneknya yang tercabut dari kehidupan masyarakat pesisir akibat feodalisme dan kemiskinan, dan berpindah ke daerah pedalaman di Blora.

Selain beberapa karya Pram, saya juga pernah membaca satu novel maritim lainnya karya YB. Mangunwijaya yang berjudul “Ikan-ikan hiu, Ido dan Homa” (1983). Novel etnik yang romantik ini juga berbumbu sejarah peperangan melawan penjajah di perairan Maluku. Di dalamnya digambarkan bagaimana sikap masyarakat bahari nusantara dalam menghadapi kapal-kapal asing yang memiliki teknologi perang lebih canggih dari kapal-kapal yang mereka miliki. Rentannya pertahanan saat itu bukan karena kekalahan teknologi, melainkan lebih disebabkan oleh kondisi politik yang labil antara para raja-raja di perairan Maluku, sehingga para penjajah Eropa hanya tinggal berbagi-bagi kapling saja, memilih mendukung kerajaan yang mana dan saling mengadu-domba.

Menggemari karya sastra sangat penting bagi proses belajar. Dramawan Asrul Sani (1992) mempertanyakan: “Bagaimana mungkin intelektual bisa memahami hakikat manusia kalau mereka tak membaca sastra?” Menggemari sastra bukan berarti menjadi sastrawan. Penyair Taufiq Ismail (2005) memandang sastra diperlukan untuk mengasah dan menumbuhkan minat baca buku secara umum. Beliau memberikan ilustrasi menarik tentang Dwitunggal Soekarno-Hatta sebagai berikut:
Seorang Anak Baru Gede di tahun 1919 masuk sekolah SMA dagang menengah Prins Hendrik School di Batavia. Wajib baca buku sastra menyebabkannya ketagihan membaca, tapi dia lebih suka ekonomi. Dia melangkah ke samping, lalu jadi ekonom dan ahli koperasi. Namanya Hatta. Seorang siswa yang sepantaran dia, di AMS Surabaya, juga adiksi buku. Kasur, kursi dan lantai kamarnya ditebari buku. Tapi dia lebih suka iImu politik, sosial dan nasionalisme. Dia melangkah ke samping dan jadi politikus. Namanya Soekarno.