Sonntag, Juni 18, 2006

Adakah wisata bahari di lautan Nusantara?

Boleh jadi moda transportasi berlibur klasik untuk keluarga Indonesia yang terkenal adalah naik delman atau naik kereta api. Kepopuleran keduanya terabadikan dalam lagu kanak-kanak. Bagaimana dengan kapal laut?

Sudah lama tidak terdengar adanya kapal pesiar milik negeri sendiri yang mengarungi lautan Nusantara, semenjak kapal pesiar Awani Dream, cruise ship ukuran sedang yang dioperasikan di Indonesia pada era Orde Baru tidak lagi beroperasi. Padahal sejak masih bernama Hindia Belanda, perairan Indonesia merupakan perairan kapal pesiar. Kapal-kapal mewah dengan bendera negara-negara Skandinavia, Inggris, Amerika, bahkan Federasi Rusia dan negara-negara lain sudah sejak awal masa kemerdekaan dari waktu ke waktu mampir ke Indonesia. Itu semua dapat kita baca dalam catatan berkala wisata dari zaman Hindia Belanda yang ada di Perpustakaan Nasional.

Namun kehadiran mereka sekarang ini makin jarang. Ini mungkin disebabkan minimnya kemampuan pelabuhan-pelabuhan kita memberikan fasilitas pelayanan untuk kapal-kapal tersebut dan kepada para penumpangnya yang turun ke daratan. Saking lalainya kita terhadap perairan Nusantara sehingga sempat diusulkan oleh Singapura supaya perairan Nusantara diberi nama Aseanaria. Padahal perairan ini notabene adalah milik sah bangsa kita. Singapura seakan-akan menginginkan perairan Indonesia atau Nusantara itu dilupakan saja, toh, bangsa pemiliknya pun tak peduli untuk memanfaatkannya secara optimal.

Buktinya, lebih banyak kapal barang milik asing yang beroperasi di perairan kita. Dan hingga sekarang kita cuma meninabobokan diri karena kita memiliki jenis kapal tradisional Phinisi. Kapal-kapal pencari ikan yang lalu lalang di perairan kita pun tidak mampu menandingi jumlah dan kualitas serta kecanggihan kapal-kapal asing yang menjarah jutaan ton ikan kita tiap tahunnya. Kita biarkan kapal-kapal asing menguras ikan kita, dalam nilai produksi miliaran dolar tiap tahunnya. Kita hanya bisa hitung kerugian, sebab kita sendiri tidak mampu memanfaatkannya secara optimal.

Sudah sejak sekian tahun lalu sebagian dari kapal-kapal pesiar (cruise ships) ukuran sedang yang semula beroperasi di sekitar Laut Tengah dan Karibia, dioperasikan di Asia Timur, dengan pelabuhan-pelabuhan singgah utamanya antara lain Kuala Lumpur, Singapura dan Hongkong. Mereka meninggalkan Laut Tengah dan Karibia karena makin jenuhnya kedua perairan tersebut baik yang disebabkan pencemaran maupun menipisnya minat turis untuk bercengkerama di sana. Dan sudah sejak sekian tahun pula pelabuhan-pelabuhan Kuala Lumpur, Singapura dan Hongkong melengkapi diri dengan fasilitas-fasilitas khusus untuk kapal pesiar, termasuk untuk para penumpangnya. Dan para pembeli dan penyewa kapal pesiar dari Laut Tengah dan Karibia itu sesungguhnya menunggu-nunggu kapan mereka bisa beroperasi di sekitar Nusantara untuk menyinggahkan turis mereka di daerah-daerah tujuan wisata kita seperti Bali, Toraja, Jawa dan Sumatra, misalnya.

Walaupun Priok sudah memiliki pelabuhan khusus untuk kapal pesiar, dan hingga kini secara kontinu disinggahi kapal-kapal pesiar dari hampir semua penjuru dunia, tidak demikian halnya dengan Medan, Surabaya, atau Makassar. Apalagi pelabuhan-pelabuhan lain yang lebih kecil. Padahal sudah sejak sekitar 30 tahun lalu, pada permulaan tahun 1970-an kapal pesiar Prinsendam milik Holland America Line melayani perairan Indonesia secara reguler dengan pelabuhan-pelabuhan singgah Tanjung Priok, Medan, Padangbai (Bali) dan lain-lain. Di Medan para penumpang diberi kesempatan berwisata ke Danau Toba, di Semarang para turis singgah untuk melihat Yogyakarta dan Candi Borobudur. Namun semenjak terbakarnya Prinsendam di perairan antara Indonesia dan Filipina, Holland America Line tidak pernah melayani perairan Nusantara secara teratur lagi.

Sesungguhnya Indonesia mampu membuat kapal-kapal modern dan nyaman seperti kapal pesiar. Beberapa negara Skandinavia sekian tahun lalu pernah memesan beberapa kapal feri yang sekelas dengan kapal pesiar kepada salah sebuah pabrik kapal di Indonesia. Mengapa kemampuan ini tidak digunakan untuk membangun armada kapal pesiar yang memiliki potensi ekonomi besar di perairan Nusantara? Dunia menilai perairan kita ideal untuk diarungi kapal-kapal pesiar semenjak lama. Kenapa kita nyaris tak peduli?


Sumber:
Winarta Adisubrata, "Kapan Perairan Indonesia Jadi Ajang Wisata Kapal Pesiar Lagi?", Harian Sinar Harapan, 3 Maret 2002.

Donnerstag, Juni 08, 2006

Lallai Baka Ellau dari Pagerungan

Semenjak 1910

Sekilas Pulau Pagerungan Kecil tidak memperlihatkan keistimewaan di antara beberapa pulau yang ada di sekitarnya. Deretan pohon kelapa yang diselingi pohon-pohon pisang tampak mendominasi jenis tanaman di pulau, yang memiliki jumlah penduduk 4.469 jiwa tersebut.

Berada di antara gugusan Kepulauan Kangean, pulau ini pun tidak termasuk dalam daftar tujuan wisata sebagaimana Pulau Madura yang berada di bagian barat, maupun Pulau Bali yang berjarak 60 mil di bagian selatan. Meski secara administratif pulau ini masuk Kabupaten Sumenep, Provinsi Jawa Timur, namun secara geografis keberadaan Pulau Pagerungan Kecil lebih dekat ke Pulau Bali.

Namun dari kebersahajaan pulau yang baru dikenal dan dihuni penduduk sejak awal 1910 tersebut, kini telah terukir sebuah momen sejarah baru kemaritiman Indonesia. Di pulau inilah sebuah replika kapal tradisional yang digunakan nenek moyang bangsa Indonesia untuk berlayar sampai ke Afrika Selatan beberapa abad lalu dibuat oleh penduduk setempat.


Lallai Baka Ellau

Adalah As'ad Abdullah, seorang pembuat kapal tradisional warga Pagerungan Kecil, yang telah mengangkat nama Pulau Pagerungan di media nasional dan internasional. Nick Burmingham yang telah mengunjungi sejumlah ahli pembuat kapal tradisional di seluruh Indonesia, yakin bahwa As’ad mampu melaksanakan pembuatan replika kapal bernilai sejarah tersebut.

Sementara dari sisi rancang bangun, As'ad – kini berusia 72 tahun – menjelaskan bahwa kapal Borobudur tersebut mengambil desain dari corak perahu Soppe yang digunakan oleh suku Bajo sekitar abad ke-8. Bahkan untuk nama kapal itu pun digunakan bahasa Bajo yaitu Lallai Baka Ellau, yang berarti “berlari bersama Matahari”. Kelak kemudian hari ketika peresmian pelayaran ekspedisi Borobudur, Presiden Megawati memberi nama Samudraraksa kepada kapal karya As’ad dan kawan-kawan tersebut, menggantikan nama indah Lallai Baka Ellau.

Menurut Nick, nama Lallai Baka Ellau itu dipilih karena misi ekspedisi yang dijalankan adalah menuju arah barat, membuat kapal tersebut seolah-olah tengah mengejar Matahari atau Ellau. Sebagai catatan, salah satu bukti telah terjadi hubungan dagang antara Madagaskar dan Nusantara di masa lalu adalah adanya kesamaan sejumlah nama benda di antara kedua bangsa, termasuk Ellau sendiri yang juga berarti Matahari dalam bahasa Madagaskar.


Pulau Sapeken, sebuah metropulau


Ibukota Kecamatan Sapeken adalah Pulau Sapeken. Kecamatan tersebut terdiri dari 33 pulau kecil dan 9 desa. Sebanyak 5 pulau yang tidak terhuni warga. Pulau Sapeken luasnya hanya sekitar 3,5 km persegi dengan jumlah penduduk 11.343 KK. Saking padatnya penduduk Pulau Sapeken, pendatang menyebutnya sebagai pulau metropolis. Nyaris tidak lahan kosong, semuanya dipadati rumah penduduk, layaknya kota metropolitan. Selebihnya hanya ada lapangan olahraga dan ditambah satu hektare tanaman kelapa. Kendati pulau kecil, Pulau Sapeken mempunyai tiga masjid. Kehidupan keagamaan masyarakat Sapeken tergolong dinamis, ada beberapa aliran dan organisasi masyarakat Islam seperti NU, Persis, Muhammadiyah dan lainnya. Umat non muslim hanya 0,5 persen saja, kerukunan antar umat beragama tergolong sangat baik.

Meski termasuk ke dalam wilayah pemerintahan Kabupaten Sumenep, namun masyarakat di sana tidak ada yang menggunakan bahasa Madura. Ada beberapa bahasa yang digunakan masyarakat dalam sehari-hari. Pertama, Bahasa Indonesia, Bahasa Bajo, Bugis, Makassar dan Mandu (semuanya Sulawesi). Hanya sejumlah orang saja yang bisa bahasa Madura ala Sumenep. Penduduk Sapeken dari sejarahnya memang pendatang dari daerah Makassar. Ketika itu, orang kampung Bajo Sulawesi Selatan berlayar mencari ikan dan menetap di kepulauan Sapeken.

Penghasilan utama penduduk Sapeken adalah mencari ikan dilaut. Sayangnya sistem penjualan hasil tangkapan masih tradisional. Minimnya perhatian pemerintah memaksa sebagian penduduknya untuk merantau jauh ke luar negeri. Sepintas taraf ekonomi masyarakat kepulauan Sapeken boleh jadi melebihi kesejahteraan ekonomi masyarakat daratan Sumenep. Kendati masyarakat hidup di pulau-pulau kecil dan jauh dari keramaian, kebutuhan ekonomi masyarakat selalu tercukupi. Ini berbeda, dengan kondisi masyarakat daratan yang selalu mengharap bantuan-bantuan dari pemerintah, serupa Jaring Pengamanan Sosial (JPS).

Masyarakat kepulauan tidak begitu suka akan bantuan-bantuan yang bersifat memanjakan masyarakat dan tidak mengajak masyarakat untuk kreatif menggali potensi ekonomi kepulauan. Apalagi, bantuan semacam itu bertolak belakang dengan kinerja nelayan yang dikenal pantang menyerah sebelum sukses. Seperti usaha pelaut atau nelayan yang sebelum berhasil menangkap ikan tidak mau pulang ke darat. "Di kepulauan banyak potensi. Kenapa masyarakat tidak dibekali keterampilan untuk dibina, seperti budi daya ikan kerapu," ujar salah seorang penduduk.

Kesehatan dan pendidikan merupakan masalah serius di masyarakat kepulauan. Alat transportasi tenaga medis dan tenaga pendidik sangatlah minim dan hanya mengandalkan perahu saja. Guru-guru dari kabupaten biasanya hanya datang sebentar untuk menengok kondisi sekolah, namun tidak pernah betah berlama-lama tinggal di sana.

Transportasi tampaknya menjadi kendala utama bagi pengembangan potensi wisata di pulau yang penduduknya menggunakan bahasa suku Bajo tersebut, termasuk bagi 29 pulau lainnya yang berada di Kecamatan Sapeken. Perjalanan laut Sapekan-Makassar bila melalui perahu mesin mencapai 24 jam, Sapaken-Bali 10 jam, Sapeken-Banyuwangi memakan waktu 12 jam. Sementara ke Sumenep warga Sapeken harus ke Pulau Kangean sekitar 5 jam. Ditambah dari Kangean ke Kalianget naik kapal ferry Kartika sekitar 8 jam.

Gugus Kepulauan Kangean dikaruniai kandungan minyak-bumi di bawah tanahnya. Saat ini ada sebuah perusahaan pertambangan gas dan minyak bumi nasional tengah beroperasi di sana, sebuah potensi yang semakin membangkitkan keinginan penduduk setempat untuk menjadi sebuah daerah otonom. Sebuah kasus yang sekarang lazim terjadi di berbagai tempat di pelosok tanah air akibat kurangnya perhatian pemerintah melalui pembangunan berwawasan maritim dan kesadaran untuk menentukan nasib sendiri yang semakin bergejolak.


Sumber:

[1] Dari Catatan Perjalanan Kepulauan Sumenep. Harian Jawa Pos, 2 Desember 2000.
[2] Mengungkap Kedigdayaan Maritim dari Pangerukan. Harian Bisnis Indonesia, 21 Juni 2003.

Samstag, Juni 03, 2006

Sejuta Cerita Samudraraksa 5

Melintasi katulistiwa: keunggulan ilmu maritim nenek moyang kita

Awak kapal Samudraraksa datang dari berbagai bangsa. Ada yang dari Australia, Selandia Baru, Inggris, Swedia, dan Prancis. Total ada 27 orang yang tergabung dalam eskpedisi ini, 10 orang diantaranya berkebangsaan Indonesia.Persahabatan antarbangsa pun muncul dengan tulus. Para awak kapal yang bule juga belajar makan mi instan. Mula-mula mereka tampak kagok juga nyantap mie instan. Tapi lama-lama kuat juga. Ekspedisi Borobudur tercatat menghabiskan 224 dus mi instan! Luar biasa.

Saat perjalanan itu memasuki bulan puasa, para bule juga membantu menyiapkan sahur atau penganan berbuka puasa. Saat lebaran, kapal Samudraraksa kebetulan sedang merapat di Cape Town, Afrika Selatan. Cuma sayangnya, di sana tidak ada masjid, sehingga awak kapal yang muslim tidak salat id. Untuk merayakan hari besar itu, mereka mengunjungi Taman Safari Hluhluwe. Dan sebagai pengganti ketupat, mereka membeli cake.

Bagi para pelaut Indonesia, mereka punya pantangan tertentu selama berlayar. Misalnya, awak kapal tak boleh berhubungan intim selama berlayar. Termasuk untuk pasangan suami-istri. Entah kebetulan entah memang kualat, kapal Samudraraksa berkali-kali mengalami kejadian tak mengenakkan saat pantangan itu dilanggar, kala menjalani leg ketiga. Dua kali propeler atau baling-baling patah, generator rusak, bahkan pernah pula tertabrak kapal saat bersandar di Pelabuhan St. Helena. Berkali-kali Samudraraksa harus merapat ke pelabuhan yang tak ada dalam jadwal.

Usut punya usut, ternyata ada awak kapal yang bersebadan. Karena berbeda latar belakang budaya, awak kapal yang bule tak peduli pantangan berhubungan intim saat berlayar. Itulah Pengalaman yang paling berharga dari perjalanan ini, kata Kapten Putu. Sehebat apa pun manusia, kadang ada hal-hal yang sulit dijelaskan namun terjadi. Sehingga larangan untuk berbuat hal-hal yang tidak semestinya, jangan sekali-kali dilanggar jika memang mau selamat.

Bagi pelaut tradisional pantangan-pantangan atau larangan yang digariskan orang-orang tua dulu selalu dicoba untuk dipatuhi. Salah satunya adalah menceritakan kejadian-kejadian aneh yang mungkin dialami di laut. "Memang suka ada yang aneh-aneh, tetapi kata orang- orang tua kalau semakin diceritain, yang aneh-aneh semakin banyak datang," kata Sudirman, awak kapal dari Pagerungan yang juga salah seorang tukang kayu pembuat kapal tersebut. Sudirman percaya betul ilmu laut yang dimiliki nenek moyang zaman dahulu jauh lebih tinggi dibandingkan dengan yang kebanyakan dipunyai pelaut sekarang. Karena itu, dia tak heran kalau abad-abad lalu sudah ada perjalanan dari Indonesia ke Afrika. "Bukan masalah peralatan atau kapalnya yang lebih bagus, tetapi ilmunya yang lebih baik," demikian ujarnya.

Muhamad Abduh, awak kapal tertua yang berusia 50 tahun, mengaku sempat rindu dengan keluarga. Kendati berlayar adalah bagian dari hidupnya sebagai nelayan, suami dua istri, ayah enam anak, dan kakek dua cucu ini merasa perjalanannya kali ini luar biasa panjang. Abduh yang mempunyai hubungan darah dengan Sulhan dan kerabat Sudirman tak mempunyai cara khusus untuk membunuh rasa rindu. "Begitu kepikiran keluarga, langsung saya jalan-jalan di kapal. Ya, cuma itu yang saya bisa lakukan," katanya. Rokok dan kopi tak pernah absen dari menu sehari-hari yang dia nikmati selama perjalanan. "Minimal sehari tiga gelas kopi, rokok habis sebungkus sehari," ucapnya. Seperti Sulhan dan Sudirman, Abduh diikutsertakan dalam ekspedisi ini karena pengalamannya sebagai pelaut maupun selaku ahli pembuat kapal.

Di leg keempat, menjelang masuk Acra, sebagian awak kapal menjalani ritus yang biasa dilakukan para pelaut saat melintasi garis khatulistiwa. Dari 15 awak kapal, hanya lima orang yang pernah melewati garis khatulistiwa. Mereka inilah yang kemudian memimpin upacara khusus. Muhammad Abduh menjadi Raja Neptunus. Sedangkan Kapten Putu berperan sebagai bangsawan.

Para pelaut pemula disuruh makan nasi basi dicampur dengan segala macam sayuran. Minumannya adalah Nutrisari dicampur air laut dan sambal botol. Rasanya tentu tak keruan. Anehnya, tidak ada di antara para peserta upacara yang mabuk. Mungkin karena perasaan senang telah melewati garis khatulistiwa. Sebagai penutup upacara, rambut mereka dipotong sedikit, tanda telah menjadi pelaut tulen.


Dari Borobudur kembali ke Borobudur

Setelah melakukan perjalanan bersejarahnya sejak 15 Agustus 2003 hingga 23 Februari 2004, kapal Samudraraksa akhirnya menjadi kenangan. Setelah mengarungi lautan selama hampir tujuh bulan, kapal ini dimuseumkan dan menjadi warisan kekayaan bangsa. Tempat peristirahatan terakhir Samudraraksa terletak di taman Candi Borobudur. Pemilihan Borobudur sebagai lokasi museum bukanlah tanpa alasan. Seperti namanya, yaitu ekspedisi Borobudur, kapal ini berawal dari Borobudur dan berakhir di Borobudur.

Dampak positif ekspedisi Borobudur tersebut jelas sangat besar. Selain menumbuhkan kebanggan maritim kepada bangsa Indonesia, juga berdampak nyata terhadap dunia pariwisata. Harian Balipos pada tanggal 31 Desember 2003 melaporkan adanya peningkatan arus kunjungan turis Afrika untuk berlibur ke Indonesia, terutama Bali sebagai tujuan wisata yang paling banyak digemari.


Sumber:

[1] The Borobudur Ship Expedition, official website: http://www.borobudurshipexpedition.com/
[2] Ekspedisi Kapal Borobudur Tingkatkan Kunjungan Turis Afrika ke Bali. Harian Balipos, 31 Desember 2003.
[3] Ekspedisi Kapal Borobudur Dapat Memberdayakan Budaya. Majalah Tempo, 03 Juli 2003.
[4] Ekspedisi Borobudur Napak Tilas Memperkaya Batin. Majalah Gatra edisi 20, 26 Maret 2004.
[5] Ekspedisi Mimpi Mereka-reka Sejarah! Harian Kompas, 16 Agustus 2003.
[6] Niken Maharani, Gagah Berani Mengarungi Samudra. Harian Kompas, 08 Maret 2004.
[7] Pelabuhan Terakhir Samudraraksa di Borobudur. Harian Republika, 26 Agustus 2005.
[8] Perahu Zig-zag Melawan Angin. Harian Kompas, 30 Oktober 2003.